Senin, 30 April 2012

Dasar-dasar Etika Periklanan - Bagian 1

Dasar-dasar Etika Periklanan - Bagian 1 Oleh FX Ridwan Handoyo (5 April 2011) Tulisan ini dibuat untuk para insan periklanan dan masyarakat pada umumnya untuk dapat lebih memahami bagaimana menilai apakah suatu iklan telah dibuat secara etis ataukah tidak. Bagian pertama ini akan menguraikan secara ringkas pengertian iklan dan bagaimana kaitannya dengan etika. Bagian ke 2 akan lebih fokus pada asas swakramawi yang dianut oleh masyarakat periklanan dunia. Tulisan ini mengacu pada isi dari kitab Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang dapat diunduh di www.p3i-pusat.com. Pengertian Iklan Dalam tulisan ini (dan sesuai yang tercantum pada kitab EPI), pengertian iklan adalah: “Pesan komunikasi pemasaran atau komunikasi publik tentang sesuatu produk yang disampaikan melalui sesuatu media, dibiayai oleh pemrakarsa yang dikenal serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat.” Dengan demikian, dalam suatu iklan/pariwara harus terdapat 4 (empat) komponen utama; yaitu: (1) pesan, (2) produk/jasa dari pemrakarsa/produsen, (3) transaksi ekonomi dan (4) khalayak sasaran (target audience). Iklan/pariwara adalah salah satu bentuk transaksi ekonomi yang pada umumnya melibatkan 3 (tiga) pihak yaitu: produsen (sebagai pemrakarsa), biro iklan dan media massa. Hal ini penting diungkapkan di sini karena seringkali masih terjadi kerancuan yang menyamakan iklan dengan berita (sebagai produk dari jurnalistik. Berita seharusnya bukanlah suatu proses transaksi ekonomi. Iklan dapat saja bentuknya mirip seperti berita, tapi tetap harus dapat dibedakan dengan berita. Etika akan terikat dengan etika periklanan, sedangkan berita akan terikat dengan etika jurnalistik. Pesan iklan, sebagai inti dari apa yang akan disampaikan dalam suatu iklan, akan efektif bila ia mengandung unsur persuasif. Ia harus mampu membujuk pemirsanya, minimal untuk memperhatikan iklan tersebut dan kemudian mengajak pemirsanya menjadi konsumen dari produk/jasa yang ditawarkannya. Berita tidak mempunyai unsur persuasif ini karena berita pada dasarnya harus netral. Unsur persuasif dalam iklan harus dikemas sedemikian rupa sehingga langsung dapat dimengerti oleh pemirsanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Berita, di sisi lain, seharusnya memberikan detil yang lebih panjang-lebar. Iklan umumnya singkat dan padat karena mahalnya biaya pemasangannya di media massa. Asas Utama Periklanan: Jujur dan benar! Dalam kitab Etika Pariwara Indonesia, disebutkan 3 asas utama periklanan; yaitu: Iklan dan pelaku periklanan harus: 1. Jujur, benar, dan bertanggungjawab. 2. Bersaing secara sehat. 3. Melindungi dan menghargai khalayak, tidak merendahkan agama, budaya, negara, dan golongan, serta tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Mari kita bahas lebih detil lagi aspek “jujur dan benar” ini. Masyarakat sering-kali dengan mudah “menuduh” bahwa mayoritas iklan yang dilihatnya adalah suatu “kebohongan”. Memang ada iklan yang bohong dan menyesatkan. Tapi tidak semua. Memahami menilai apakah suatu iklan etis ataukah tidak (benar ataukah bohong) dapat membantu masyarakat umum menjadi konsumen iklan yang lebih bijaksana dan cerdas. Melanjutkan perbandingan antara iklan dan berita di atas, dapat diuraikan di sini bagaimana memahami unsur “jujur dan benar” di antara ke duanya. Semua orang tahu dan paham bahwa suatu berita (idealnya) harus selalu mengandung kejujuran dan kebenaran. Iklan (idealnya) juga harus jujur dan benar! Lalu, apa bedanya? Kutipan berikut ini semoga dapat memperjelas perbedaan unsur “jujur dan benar” antara berita dan iklan. News should always tell the truth, and only about the whole truth. Advertising, on the other hand, should also always tell the truth, but not necessarily the whole truth! Berita yang mengikuti etika jurnalistik haruslah dengan jujur mencari kebenaran yang sedalam-dalamnya. Berita tidak boleh berpihak. Bila ada pendapat yang pro, ia juga harus mengulas pendapat yang sebaliknya. Walaupun seorang Nurdin Halid dikecam banyak masyarakat atas tindakannya, berita yang baik haruslah tetap memberikan kesempatan pembelaan kepada Nurdin Halid dengan menuliskan pendapatnya serta pendapat pihak-pihak yang mendukungnya. Berita haruslah menjunjung tinggi “kejujuran dan kebenaran” ini, di atas uang, tekanan politik bahkan tekanan masyarakat sekalipun! Iklan yang beretika adalah iklan yang menyatakan kebenaran dan kejujuran juga! Tapi iklan tidaklah akan efektif bila ia tidak mempunyai unsur persuasif. Akibatnya, tidak akan ada iklan yang akan menceritakan the whole truth dalam pesan iklannya. Sederhananya, iklan pasti akan mengabaikan informasi-informasi yang bila disampaikan kepada pemirsanya malah akan membuat pemirsanya tidak tertarik untuk menjadi konsumen produk/jasanya. Sebuah produk sepeda motor misalnya, tidak akan menyebutkan atau menyampaikan dalam pesannya bahwa bila si pengendara sepeda motor tersebut belum pernah naik motor dia bisa celaka. Meskipun dalam iklannya, sepeda motor itu hanya akan menyebutkan hal-hal yang baik saja, semua hal-hal baik tersebut haruslah benar dan jujur! Suatu produk air mineral yang menyampaikan pesannya bahwa airnya berasal dari sumber di daerah A padahal sebenarnya berasal dari daerah B adalah iklan yang tidak jujur dan bohong. Iklan yang menyatakan bahwa harga produk A adalah yang termurah tapi sebenarnya ada produk lain yang lebih murah adalah iklan yang tidak jujur dan bohong. Seringkali, kita juga mendengar pendapat adanya “iklan yang tidak mendidik”. Sejak awal mulanya muncul, iklan bukanlah suatu pesan untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat. Berita dapat menjadi alat pendidikan. Iklan adalah suatu alat ekonomi yang bertujuan khusus yaitu menjual produk atau jasa. Iklan selalu bertujuan mendapatkan keuntungan; yaitu dengan harapan produk/jasa yang diiklankan menarik makin banyak konsumen. Iklan dapat berfungsi menginformasikan kepada konsumen atas keberadaan suatu produk/jasa dan apa saja keunggulan produk tersebut (tidak akan disebutkan apa kelemahannya, kecuali untuk beberapa jenis produk tertentu yang diatur secara khusus oleh pemerintah – seperti rokok dan obat-obatan). Bila iklan “harus mendidik”, maka hal itu harus dipahami dengan batasan/koridor di atas. Dengan demikian, haruslah dipahami bahwa menjadi konsumen yang cerdas, tidaklah cukup hanya dengan melihat/memperhatikan isi iklan! Setiap kali kita melihat iklan maka yang terpapar ke kita adalah hal-hal yang baik. Padahal, pasti ada hal-hal lain yang menjadi kelemahan dari produk tersebut yang tidak disampaikannya. Menjadi konsumen yang cerdas berarti: 1. Menganalisa apakah informasi/pesan iklan (hal-hal yang baik) sudah jujur dan benar? 2. Mencari informasi-informasi tambahan yang tidak disebutkan dalam pesan iklan tersebut Untuk membantu konsumen menganalisa kebenaran dan kejujuran suatu iklan, kitab Etika Pariwara Indonesia (EPI) dapat dipakai sebagai panduannya. Kitab ini bukan hanya milik dari masyarakat periklanan. Kitab ini adalah milik seluruh masyarakat Indonesia yang berperan sebagai konsumen iklan di Indonesia. Salah satu cara mudah (tapi bukan satu-satunya) untuk mencari informasi-informasi tambahan yang tidak disebutkan dalam pesan iklan adalah dengan membaca label produk, buku panduan pemakaian, lembar garansi, persyaratan dan sejenisnya. Produk/jasa yang beretika tinggi pasti akan mencantumkan dengan lebih lengkap informasi-informasi tentang produknya di sana. Bila tidak, kita pantas mencurigai adanya itikad tidak baik pada produk tersebut. Dalam era internet, kini akan sangat jauh lebih mudah mencari informasi-informasi tambahan lainnya selain dari sumber-sumber di atas. Etika Periklanan vs Kreatifitas Di dalam masyarakat periklanan sendiri, panduan yang diberikan dalam kitab EPI belumlah sepenuhnya dapat diterima. Bahkan bagi sebagian praktisi periklanan kitab tersebut dianggap sebagai “penjara atas kreatifitas” mereka. Yang dimaksud dengan praktisi periklanan di sini minimal adalah ke 3 (tiga) pihak yang terlibat dalam suatu proses periklanan; yaitu: pemrakarsa/produsen, biro iklan dan media massa. Sikap mengabaikan etika periklanan adalah suatu kesalahan fatal! Penulis seringkali menyampaikan bahwa tanpa mempelajari etika periklanan maka sebenarnya tidaklah pantas seseorang menyebutkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat periklanan. Suatu iklan agar mempunyai efek persuasif yang tinggi haruslah mampu “berbicara dalam bahasa konsumen”, dengan kata lain, ia harus komunikatif. Dalam usahanya membuat suatu iklan menjadi komunikatif, insan periklanan berusaha mencari tahu hal-hal apa saja yang akan menarik perhatian mereka; hal-hal yang saat ini menjadi trend dan disukai (atau akan disukai) oleh konsumennya. Contoh sederhananya: bila produk saya adalah untuk kaum remaja, maka menggunakan dialek yang dipahami oleh kaum remaja akan lebih komunikatif. Atau menggunakan peristiwa-peristiwa yang disukai oleh kaum remaja (berkemah, pesta, jalan-jalan bersama dan sebagainya). Hal-hal yang dicari di atas erat kaitannya dengan unsur budaya yang ada pada suatu kelompok masyarakat. Budaya itu mungkin sudah berakar lama, mungkin pula sedang dalam proses perubahan. Dalam industri periklanan dikenal istilah consumer insights yang diyakini oleh praktisi periklanan sebagai sesuatu yang dapat membuat pesan iklannya menarik dan mudah dipahami oleh kelompok konsumennya. Penulis ingin sedikit mengoreksi istilah tersebut menjadi positive consumer insights, karena di sisi lain terdapat negative consumer insights. Hal terakhir inilah yang sering dilupakan dan diabaikan oleh para praktisi periklanan. Budaya konsumen juga memberikan “pagar-pagar” terkait dengan hal-hal yang tidak mereka sukai. Mereka mungkin mudah memahaminya, tapi dalam konotasi yang negatif. Dengan demikian, pemahaman atas positive consumer insights tidaklah menjamin suatu pesan akan komunikatif bila tidak memperhatikan negative consumer insights. Kitab Etika Pariwara Indonesia (EPI) adalah kitab panduan yang disusun oleh para praktisi periklanan senior dari berbagai latar-belakang. Kitab tersebut disusun berdasarkan pengalaman mereka dan perbandingan etika periklanan yang ada di negara-negara lain. Pada dasarnya, kitab tersebut adalah suatu panduan budaya konsumen (di Indonesia) yang terkait dengan negative consumer insights. Praktisi periklanan Indonesia justru seharusnya wajib berterima-kasih dengan adanya kitab tersebut karena kitab tersebut memudahkan mereka untuk memahami hal-hal yang tidak disukai oleh konsumen Indonesia tanpa harus melakukan penelitian sendiri. Bila penjelasan di atas dirasa belum memuaskan, maka penulis ingin menambahkan satu argumen lagi. Kreatifitas periklanan bukanlah kreatifitas “liar”. Seseorang boleh saja menjadi seorang kreatif yang “liar” bila ia seorang seniman murni (pure artist). Seorang Pablo Picasso, misalnya, tidak akan peduli apakah lukisannya akan disukai atau dicemooh oleh pemirsanya (dan pada kenyataannya pada saat hidupnya, lukisannya lebih sering dicela karena berbeda dari “pakem” saat itu). Ia melukis lebih berdasarkan panggilan hatinya, bukan karena pesanan seseorang. Seperti telah disebutkan di atas; iklan adalah suatu produk ekonomi. Dalam iklan terdapat stakeholders. Jadi iklan adalah suatu seni komersial (commercial art). Keterlibatan berbagai stakehodlers tersebutlah yang mewajibkan kita untuk memperhatikan adanya unsur budaya (etika) yang dapat menyatukan seluruh komponen industri periklanan ini dalam suatu proses ekonomi yang beretika. Akhir kata, etika periklanan adalah suatu komponen penting untuk menjaga daya-tahan dunia iklan. Tanpa adanya etika periklanan, iklan akan berisi banyak kebohongan dan ketidak-jujuran. Akibatnya? Masyarakat akan mengacuhkan iklan dan industri periklanan akan mati. Jadi, komponen industri periklanan yang tidak mendukung etika periklanan sebenarnya adalah pihak-pihak yang justru menginginkan matinya industri ini!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar